Minggu, 14 September 2014




DASAR TEORI ASMA BRONGKIALE



            Asma adalah proses obstruksi reversible yang ditandai dengan peningkatan responsivitas dan inflamasi jalan nafas, terutama jalan nafas bagian bawah. (Donna L.Wong. 2008:475)
            Asma adalah suatu proses obstruksi pernafasan yang reversible, ditandai oleh periode eksaserbasi dan remisi, terjadi spasme bronkial yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Salah satu penyebab utama terjadinya penyakit kronis pada anak, kondisi ini umumnya muncul sebelum usia 5 tahun, dan sebelum usia remaja, lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan (Kathleen Morgan Speer. 2008:2).
            Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan nafas tempat banyak sel (sel mast,eosinofil, dan limfosit T) memegang peranan. Pada anak yang rentan, inflamasi menyebabkan episode mengi kambuhan, sesak nafas, dadak sesak, dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari. Episode asma ini berhubungan dengan keterbatasan atau obstruksi aliran udara yang reversible dan dapat sembuh dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus (Donna L.Wong,dkk. 2009:961)
            Asma adalalah penyakit paru yang didalamnya terdapat obstruksi jalan nafas, inflamasi jalan nafas, dan jalan nafas yang hiperresponsif atau spasme otot polos bronkial. Serangan asma dapat dipicu oleh alergen spesifik (mis: serbuk sari bunga, jamur, bulu bintang, debu, atau makanan) atau oleh faktor lain seperti perubahan cuaca, infeksi pernafasan, latihan atau faktor emosional. (Cecily L. Bets & Linda A.L. 2009:31)

 Anatomi Fisiologi
            Secara umum saluran udara pernafasan adalah sebagai berikut : dari nares anterior akan bermuara pada Vestibulum nares, cavitalis nasalis, nasopharynx, larynx, trachea, bronchus primarius, bronchus secundus, bronchus tertius, bronchiolus, bronchioles terminalis, bronchioles respiratorius, ductus alveolaris, atrium alveolaris, sacculus alveolaris kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara (Syaifuddin. 2009:143)
Saluran pernafasan meliputi :
2.1.2.1.     nasal anterior adalah saluran-saluran yang berada di hidung. Saluran nares anterior akan bermuara kedalam vestibulum nasal.
2.1.2.2.     Vestibulum nasal yang dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir, semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung
2.1.2.3.     Faring adalah pipa berotot sepanjang dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
2.1.2.4.     Laring terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkan dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea.
2.1.2.5.     Trakea terletak didalam mediastinum superior ventral dari esophagus, panjangnya 12 cm dan penampangnya 2 cm. setinggi agulus sternalis atau vertebrata torakalis ke-5, trakea akan bercabang 2 (Bifurcatio trakea), yatu bronkus primaries (principalis) dekstra dan sinistra.
2.1.2.6.     Bronkus memiliki dua percabangan utama, yaitu bronkus dekstra (kanan) dan bronkus sinistra (kiri) bronkus kanan lebih pendek dan lebh lebar dari pada bronkus kiri, sedangkan bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari pada bronkus kanan (Sugeng M.Ashudi. 2011:22-23)
            Respirasi melibatkan otot-otot regular dan otot bantu. Otot regular bekerja dalam pernafasan normal sedang otot bantu atau auxiliary bekerja pada saat pernafasan sesak. Otot regular inspirasi : m.intercostalis exsternu, m.levator costae, m.serratus posterior superior, m.intercartilagineus. Otot Auxiliar Inspirasi : m. scalene, m.sternocleidomastoideus, m.pectoralis mayor et minor, m.latissimus dorsi, m.serrarus anterior. Otot Reguler exspirasi : m.intercostalis internus, m.subcostalis, m. tranversus thoracis, m.serratus posterior interior. Otot Auxiliar Ekspirasi : m.obliquus exsternus et internus abdominis, m.rectus abdominis (Syaifuddin. 2008:153)

Etiologi
            Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonomi, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada  berbagai individu. Pengendalian diameter  jalan nafas dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas Bronko konstriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom.
            Disamping faktor genetik, faktor lingkungan juga sangat berperan pada timbulnya asma. Faktor lingkungan dapat dibagi atas faktor alergen dan faktor non alergen atau nonspesifik.
2.1.3.1. Faktor alergen dapat berupa :
1)   Aeroalergen atau inhalan (yang masuk melalui jalan nafas) seperti debu rumah, tungau debu rumah, bulu binatang, tepung sari, tumbuh-tumbuhan, spora jamur dan sebagainya.
2)   Ingestan (yang masuk melalui mulut) seperti makanan, minuman, obat-obatan dan sebagainya.
3)   Suntikan atau sengatan serangga.
2.1.3.2. Faktor Non alergen  antara lain asap rokok, bau-bauan, gas masak, asap mobil, dingin, “exercise”, seperti lari-lari dan naik sepeda, psikis dan sebagainya. (Karnen G.Baratawidjaja dkk. 2006:53)
2.1.3.3. Pencetus serangan asma
1)        Alergen, bila tingkat hipereaktivitas bronkus tinggi, diperlukan jumlah alergen yang sedikit dan sebaliknya jika hipereaktivitasnya rendah diperlukan jumlah antigen yang banyak untuk menimbulkan asma, sensitisasi bergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergen berhubungan dengan umur
2)        Infeksi, biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkan ialah respiratory syncytical  virus (RSV). Dan virus parainfluenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya pertussis, streptokokus dan jamur.
3)        Iritan hairspray minyak wangi, obat semprot nyamuk, asap rokok, bau tajam, dari cat SO2, dan polutan udara lainnya dapat memacu serangan asma.
4)        Cuaca, perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, dingin, angin, dan kelembapan udara dihubungkan dengan percepetan dan terjadinya serangan asma.
5)        Kegiatan Jasmani, kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru dibawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6)        Infeksi saluran pernafasan, infeksi virus pada sinus, baik sinusitis akut maupun kronik dapat memudahkan terjadinya asma pada anak (Rachelesfky dkk,1978). Rhinitis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau reflek.
7)        Faktor Psikis. Merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks, tidak adanya perhatian dan/ tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sediri atau kekurangan akan menggagalkan usaha pencegahan. Sebaliknya terlalu takut terhadap adanya serangan maka kedepannya anak juga dapat memperberat serangan asma. (Ngastiyah, 2005:85)


 Patofisilogi
            Asma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi atau stimulan lain. Asma juga dapat terjadi faktor pencetus karena latihan, kecemasan, dan udara dingin. Dengan adanya bahan iritasi atau alergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul (Immunoglobulin E atau Ig E) dengan adanya alergi. Ig E dimunculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan Ig E dan antigen menyebabkan pengeluaran histamine dan Zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asma.
Ikatan Ig E dan antigen menimbulkan 2 respon fase yang berbeda yaitu fase awal (segera pelepasan histamin) inflasi sehingga menyebabkan  peningkatan sekresi mucus dan peningkatan kontraksi otot halus pernafasan dan fase yang ke dua yaitu fase lambat 6-8 jam fase awal , pelepasan prostaglandin, leukotrin, platelet,tromboksan. Sehingga mengakibatkan peingkatan kontraksi otot halus pernafasan.
Aktifitas otot halus yang menyebabkan hipertropi yang berujung dengan obstruksi saluran pernafasan. Selama serangan asmathik, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan.
Anak mengalami asma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas. Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas. Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi O2, sehingga terjadi penurunan pO2 (hipoxia). Sehingga akan mengalami ganguan pertukaran gas, dan dari hypoxia akan mengakibatkan pula ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan pasien keterbatasan aktivitas. (Kartika Sari W. 2013:48)
Obstruksi saluran pernafasan membuat kerja pernafasan semakin meningkat, namun hal ini menyebabkan kesulitan untuk makan dan minum secara oral, yang akan terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan penurunan masukan oral dan resiko kekurangan volume cairan karena hiperventilasi.

Gambaran Klinis
2.1.5.1. Batuk
            Batuk kering, paroksimal, iriatif dan non produktif kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental.
2.1.5.2. tanda-tanda terkait pernafasan
1)        Sesak nafas
2)        Fase ekspirasi memanjang
3)        Mengi dapat terdengar
4)        Tulang zigomatik memerah dan telinga merah
5)        Bibir warna merah gelap
6)        Dapat berkembang menjadi sianosis pada dasar kuku dan / sianosis sirkumoral
7)        Gelisah
8)        Ketakutan
9)        Berkeringat semakin banyak sejalan dengan berkembangnya serangan asma.
10)    Anak yang sudah besar dapat duduk tegak dengan bahu dibungukkan, tangan berada diatas meja atau kursi, dan lengan menahan
11)    Berbicara dengan fase yang singkat, terpatah-patah dan terengah-engah.
2.1.5.3   Dada
1)        Hiperesonansi pada perkusi
2)        Bunyi nafas kasar dan keras
3)        Mengi diseluruh bidang paru
4)        Ekspirasi memanjang
5)        Ronki kasar
6)        Mengi pada saat inspirasi dan ekspirasi : nada mengi
2.1.5.4   Pada episode berulang
1)        Dada barrel
2)        Bahu meninggi
3)        Penggunaan otot-otot pernafasan aksesoris
4)        Tampilan wajah : tulang zigomatik mendatar, lingkaran disekeliling mata, hidung mengecil, gigi atas menonjol.
(Donna L.Wong,dkk. 2009:963)

 Status Asmatikus
            Status asmatikus adalah serangan asma akut, berat dan berkepanjang dimana distres pernafasan terus terjadi meskipun telah dilakukan tindakan terapiutik yang hebat, terutama pemberian simpatomimetik. (Donna L.Wong. 2008:475)
            Tampak anak sesak sekali, sianotik, nadi menjadi lebih cepat dengan batuk yang melelahkan dan terdengar mengi melengking tanpa stetoskop dengan retraksi sternal, intercostal bawah dan atas. Ditinjau dari perjalanan penyakit (Frekuensi Serangan) maka asma dapat dibagi tiga :
2.1.6.2        Asma Ringan dengan frekuensi serangan asma jarang (kurang dari 1x/bulan) dan biasanya serangan tidak lama sehingga tidak menggangu aktivitas normal. Umumnya asma yang ringan ini disebabkan oleh spasme bronkus, sehingga dapat dikendalikan dengan bronkodilator. Biasanya asma ringan ini akan menghilang menjelang pubertas.
2.1.6.3        Asma Sedang dengan frekuensi serangan asma lebih sering, tiap 2-3x/minggu sehingga aktivitas normal kadang-kadang terganggu. Pada asma sedang disamping spasme bronkus, inflamasi juga berperan sehingga kadang-kadang membutuhkan steroid.
2.1.6.4       Asma Berat dengan serangan asma sering, sehingga menggangu aktivitas normal dan kadang-kadang interval bebas gejala hampir tidak ada. Pada asma berat ini faktor inflasi sangat berperan, karena itu membutuhkan steroid disamping bronkodilator. Untunglah asma berat hanya sebagian asma pada anak. Biasanya asma berat akan melanjut ke dewasa.(Donna L.Wong,dkk. 2009:961,967)

Kompilikasi
2.1.7.1. Status asmatikus adalah serangan asma berat atau yang  kemudian menjadi berat tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2.1.7.2        Atelectasis adalah pengurutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
2.1.7.3  Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen.
2.1.7.4       Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
2.1.7.5       Emfisema adalah penyakit yang gejala utama adalah penyemitan (Obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. (Cecily L. Bets & Linda A. 2005:26)

Diagnosa Pembanding
            Pada bayi dibawah umur 3 tahun, bronkitis merupakan diagnosa pembanding. Pada bronkitis biasanya terdapat panas dan pilek. Serangan asma pertama sulit dibedakan dari bronkitis dan diagnosis asma, baru dapat ditegakan bila ternyata keluhan sesaknya berulang.
            Pada anak yang lebih besar, bronkitis akut merupakan diagnosis banding, sama seperti pada bronkiolitis, pada bronkitis juga terdapat panas dan pilek. Serangan asma pertama juga sulit dibedakan dari brongkitis
            Benda asing dijalan nafas dapat memberi gejala menyerupai asma. Dalam hal ini anamnesis terinci dapat memberi asupan. Bila benda asing itu “radiopaque” maka dapat terlihat dari foto toraks.
Diluar negri “cystic fibrosis” merupakan salah satu diagnosis banding asma yang perlu difikirkan. Tetapi di Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis adanya penyakit ini belum pernah dilaporkan (Karnen G.Baratawidjaja & Samsuridjal 2006:59,60).
Whezzing bukanlah semata-mata disebabkan oleh asma, karena itu setiap penderita dengan keluhan Whezzing, perlu dilakukan pemeriksaan fisis dan laboratorium yang diteliti sebelum diagnosis asma ditegakkan, untuk itu diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah asma kardial, bronkitis akut ataupun yang menahun, bronkiektasis, keganasan, infeksi paru, penyakit granuloma, farmer’s lung disease, alergi bahan inhalan industri, hernia diafragmatika atau esophagus, tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum, sembab laring, tumor trakeo-bronkial, tumor atau kiste laring, aneurisma aorta dan kecemasan. (Hood Alsegaff dan H.Abdul Mukty. 2005:283)

 Evaluasi Diagnostik
2.1.9.1. Pemeriksaan radiografik biasanya digunakan untuk mengesampingkan kemungkinan adanya penyakit lain dan untuk mengevaluasi adanya penyakit lain yang menyertai. Umumnya batuk kronis pada keadaan tanpa infeksi atau mengi yang menyebar selama fase ekspirasi pernafasan sudah cukup untuk menetapkan diagnosis.
2.1.9.2. Uji fungsi paru merupakan metode diagnostic yang obyektif dan dapat diulang untuk mengevaluasi keberadaan dan derajat penyakit paru, serta respon terhadap terapi
2.1.9.3. Laju aliran ekspirasi pernafasan puncak (Peak Expirtory Flow Rate , PEFR) yang mengukur aliran udara maksimal yang dapat diekshalasi sekuatnya dalam 1 detik, PEFR diukur dalam 1 menit menggunakan Peak Expiratory Flow Meter (PEFM). 3 zona biasanya digunakan untuk membaca hasil PEFR. Sistem zona disesuaikan  dengan lampu lalu lintas sehingga mudah digunakan dan diingat.
2.1.9.4. Uji Kulit , berguna untuk mengidentifikasi alergen spesifik, dan hasil yang diperoleh dengan teknik pungsi akan lebih baik daripada yang diambil dengan uji intra kutan dengan gejala dan pengukuran sesuai antibodi Ig E.
2.1.9.5. Uji Provatif, pajanan langsung membrane  mukosa dengan antigen yang dicurigai dalam peningkatan konsentrasi, membantu identifikasi alergen yang terinhalasi.
2.1.9.6. Uji Radioalergosorben (RAST) membantu mengidentifikasi antigen terhadap berbagai makanan yang sering digunakan untuk menentukan terapi yang tepat. (Donna L.Wong,dkk. 2009:963,964)
2.1.10. Pemeriksaan Laboratorium
2.1.10.1. Dahak
            Dahak atau sputum mukoid berwarna jernih, terdiri dari mukopolisakarida dan serabut glikoprotein, bila disebabkan alergi murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang sangat kental sering kali menyebabkan penyumbatan yang disebut airways plugging. Dahak purulent berwarna kuning atau kuning kehijauan, umumnya berjumlah banyak, dengan konsistensi kenyal atau lunak, berasal dari jaringan epitel yang mengalami kerusakan (nekrotik) bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri. Pada pemeriksaan miksroskopis, tampak gambaran spiral Churschmann, badan creola dan Kristal Charcot-Leyden serta 90% dahak mengandung sel eosinofil.
2.1.10.2. Pemeriksaan Darah
            Pada penderita yang mengalami stress, dehidrasi, dan infeksi, leukosit dapat meningkat (15.000/mm3) sedangkan eosinofil meningkat diatas harga normal (normal=250/mm3). Pada asma tipe alergi, eosinofil dapat meningkat sampai 800-1000/mm3. Kalau peningkatan eosinofil ini melebihi 1000/mm3, missal sampai 4000/mm3, ada kemungkinan peningkatan ini disebabkan infeksi. Bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi kortikosteroid, maka asma tipe ini disebut steroid resistant bronchial asthma.
2.1.10.3. Pemeriksaan EKG
            Didapatkan sinus takikardia, bila peningkatan detak jantung diatas 120/menit, menunjukkan ada hipoksia dan mungkin disertai dengan PaO2 sekitar 60-40 mmHg. Bila terjadi serangan asma akut, tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambar strin ventrikel kanan yang disertai perubahan aksis jantung ke kanan dan perubahan ini dapat pulih asal. Juga didapatkan RBBB (Right Bundle Branch Block), P-pulmonal. Aritmia terjadi bila penderita mendapat epinefrin atau bila ada kenaikan katekolamin waktu terjadi serangan.(Hood Alsegaff dan H.Abdul Mukty. 2005:284)

Penatalaksanaan
2.1.11.1.     Pengendalian Alergen.
                   Tujuan terapi non farmakologik adalah pencegahan dan pengurangan pajanan anak terhadap alergen dan iritan yang ada diudara. Alergen spesifik  diidentifikasi  dengan uji kulit, dan beberapa tindakan dilakukan untuk menghilangkan atau menghindari alergen tersebut
2.1.11.2.     Terapi obat.
                   Tujuan terapi farmakologik adalah mencegah dan mengendalikan gejala asma, mengurangi frekuensi keparahan eksaserbasi asma, dan menghilangkan obstruksi aliran udara. Pengobatan dibagi 2 kategori : pengobatan pengendalian jangka panjang (obat pencegah) untuk mencapai dan mempertahankan pengendalian inflamasi dan pengobatan asma segera (penyelamatan medis) untuk mengatasi gejala dan ekserbasi (Donna L.Wong,dkk. 2009:964).
1)        Inhaller.
Banyak pengobatan asma diberikan melalui inhalasi dengan nebulizer atau disebut Inhaler dosis terukur (metered-dose-inhaller, MDI). Bayi dan anak yang masih kecil yang mengalami kesulitan menggunakan MDI atau inhaler lain dapat menggunakan nebuliser. Obat tersebut dicampur dengan salin, kemudian dinebulisasi dengan udara yang terkompensasi. Anak-anak diinstrusikan untuk bernafas normal dengan mulut terbuka agar rute langsung ke trakea terbuka.
2)        Kortikosteroid
Merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas yang reversible dan mengendalikan gejala serta mengurangi hiperaktivitas bronkus pada asma kronis, kortikosteroid  dapat diberikan secara parenteral, oral atau dengan aerosol. Obat-obatan ini harus diberikan dengan dosis paling rendah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan resiko efek merugikan yang signifikan, seperti osteoporosis, hipertensi, sindrom cudhing, gangguan mekanisme imun, dan supresi adrenal hipotalamus hipotalamik.
3)        Natrium Kromolin
Jenis obat non steroid untuk asma. Obat ini menstabilkan membrane sel mast, menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari eosinofil dan sel-sel epithelial, dan menghambat penyempitan jalan nafas akut setelah pajanan akibat latihan fisik, udara dingin yang kering dan sulfur dioksida.
2.1.11.3.     Modifier Leukotrien
                   Leukotrien adalah mediator inflamasi yang menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas jalan nafas. Modifier leukotriene (seperti zafirlukast, zileuton, dan natrium montelukast) menyekat efek inflamasi dan bronkospasme . Obat ini diberikan secara oral dan kombinasi dengan asonis-β dan steroid  untuk memberikan pengendalian jangka panjang dan pencegahan gejala pada asma persisten ringan.
2.1.11.4.     Latihan Fisik
                   Bronkospasme akibat latihan fisik (exercisa induced bronchospasm EIB) adalah obstruksi jalan nafas akut reversible , yang biasanya sembuh sendiri, terjadi selama atau setelah aktivitas berat, mencapai puncak 5 sampai 10 menit setelah aktivitas berhenti, dan biasanya berhenti 20 sampai 30 menit kemudian, pasien yang menderita EIB mengalami batuk, sesak nafas, nyeri dada atau dada sesak, mengi dan masalah ketahanan selama latihan fisik, namun untuk memastikan diagnosis ini diperlukan pengujian latihan fisik di laboratorium.


2.1.11.5.     Fisioterapi dada
                   Fisioterapi dada mencakup latihan bernafas dan latiahan fisik. Terapi ini membantu relaksasi fisik dan mental, memperbaiki postur, memperkuat otot-otot pernafasan, dan membentuk pola pernafasan yang lebih efisien. Untuk anak termotivasi, latihan bernafas dan pengendalian nafas sangat bermanfaat dalam mencegah inflasi berlebihan dan meningkatkan keefektifan batuk. (Donna L.Wong,dkk. 2009:964-966)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar