DASAR TEORI ASMA BRONGKIALE
Asma
adalah proses obstruksi reversible yang ditandai dengan peningkatan
responsivitas dan inflamasi jalan nafas, terutama jalan nafas bagian bawah.
(Donna L.Wong. 2008:475)
Asma
adalah suatu proses obstruksi pernafasan yang reversible, ditandai oleh periode
eksaserbasi dan remisi, terjadi spasme bronkial yang mengakibatkan obstruksi
jalan nafas. Salah satu penyebab utama terjadinya penyakit kronis pada anak,
kondisi ini umumnya muncul sebelum usia 5 tahun, dan sebelum usia remaja, lebih
sering pada anak laki-laki dibanding perempuan (Kathleen Morgan Speer. 2008:2).
Asma adalah gangguan inflamasi
kronis pada jalan nafas tempat banyak sel (sel mast,eosinofil, dan limfosit T)
memegang peranan. Pada anak yang rentan, inflamasi menyebabkan episode mengi
kambuhan, sesak nafas, dadak sesak, dan batuk, terutama pada malam hari atau
pagi hari. Episode asma ini berhubungan dengan keterbatasan atau obstruksi
aliran udara yang reversible dan dapat sembuh dengan pengobatan. Inflamasi juga
menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimulus
(Donna L.Wong,dkk. 2009:961)
Asma adalalah penyakit paru yang
didalamnya terdapat obstruksi jalan nafas, inflamasi jalan nafas, dan jalan
nafas yang hiperresponsif atau spasme otot polos bronkial. Serangan asma dapat
dipicu oleh alergen spesifik (mis: serbuk sari bunga, jamur, bulu bintang,
debu, atau makanan) atau oleh faktor lain seperti perubahan cuaca, infeksi
pernafasan, latihan atau faktor emosional. (Cecily L. Bets & Linda A.L.
2009:31)
Anatomi Fisiologi
Secara umum saluran udara pernafasan
adalah sebagai berikut : dari nares anterior akan bermuara pada Vestibulum
nares, cavitalis nasalis, nasopharynx, larynx, trachea, bronchus primarius,
bronchus secundus, bronchus tertius, bronchiolus, bronchioles terminalis,
bronchioles respiratorius, ductus alveolaris, atrium alveolaris, sacculus
alveolaris kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara (Syaifuddin.
2009:143)
Saluran
pernafasan meliputi :
2.1.2.1. nasal
anterior adalah saluran-saluran yang berada di hidung. Saluran nares anterior
akan bermuara kedalam vestibulum nasal.
2.1.2.2. Vestibulum
nasal yang dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan
bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir, semua sinus yang
mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung
2.1.2.3. Faring
adalah pipa berotot sepanjang dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
2.1.2.4. Laring
terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkan dari kolumna vertebra,
berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam
trakea.
2.1.2.5. Trakea
terletak didalam mediastinum superior ventral dari esophagus, panjangnya 12 cm
dan penampangnya 2 cm. setinggi agulus sternalis atau vertebrata torakalis
ke-5, trakea akan bercabang 2 (Bifurcatio trakea), yatu bronkus primaries (principalis)
dekstra dan sinistra.
2.1.2.6. Bronkus
memiliki dua percabangan utama, yaitu bronkus dekstra (kanan) dan bronkus
sinistra (kiri) bronkus kanan lebih pendek dan lebh lebar dari pada bronkus
kiri, sedangkan bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari pada bronkus
kanan (Sugeng M.Ashudi. 2011:22-23)
Respirasi melibatkan otot-otot
regular dan otot bantu. Otot regular bekerja dalam pernafasan normal sedang
otot bantu atau auxiliary bekerja pada saat pernafasan sesak. Otot regular
inspirasi : m.intercostalis exsternu, m.levator costae, m.serratus posterior
superior, m.intercartilagineus. Otot Auxiliar Inspirasi : m. scalene,
m.sternocleidomastoideus, m.pectoralis mayor et minor, m.latissimus dorsi,
m.serrarus anterior. Otot Reguler exspirasi : m.intercostalis internus,
m.subcostalis, m. tranversus thoracis, m.serratus posterior interior. Otot
Auxiliar Ekspirasi : m.obliquus exsternus et internus abdominis, m.rectus
abdominis (Syaifuddin. 2008:153)
Etiologi
Asma merupakan gangguan kompleks
yang melibatkan faktor autonomi, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis
dalam berbagai tingkat pada berbagai
individu. Pengendalian diameter jalan
nafas dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral.
Aktivitas Bronko konstriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem
saraf otonom.
Disamping
faktor genetik, faktor lingkungan juga sangat berperan pada timbulnya asma. Faktor
lingkungan dapat dibagi atas faktor alergen dan faktor non alergen atau
nonspesifik.
2.1.3.1.
Faktor alergen dapat berupa :
1)
Aeroalergen atau inhalan (yang masuk
melalui jalan nafas) seperti debu rumah, tungau debu rumah, bulu binatang,
tepung sari, tumbuh-tumbuhan, spora jamur dan sebagainya.
2)
Ingestan (yang masuk melalui mulut)
seperti makanan, minuman, obat-obatan dan sebagainya.
3)
Suntikan atau sengatan serangga.
2.1.3.2.
Faktor Non alergen antara lain asap
rokok, bau-bauan, gas masak, asap mobil, dingin, “exercise”, seperti lari-lari
dan naik sepeda, psikis dan sebagainya. (Karnen G.Baratawidjaja dkk. 2006:53)
2.1.3.3.
Pencetus serangan asma
1)
Alergen, bila tingkat hipereaktivitas bronkus
tinggi, diperlukan jumlah alergen yang sedikit dan sebaliknya jika
hipereaktivitasnya rendah diperlukan jumlah antigen yang banyak untuk
menimbulkan asma, sensitisasi bergantung pada lama dan intensitas hubungan
dengan bahan alergen berhubungan dengan umur
2)
Infeksi, biasanya infeksi virus,
terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkan ialah respiratory syncytical virus
(RSV). Dan virus parainfluenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya
pertussis, streptokokus dan jamur.
3)
Iritan hairspray minyak wangi, obat
semprot nyamuk, asap rokok, bau tajam, dari cat SO2, dan polutan
udara lainnya dapat memacu serangan asma.
4)
Cuaca, perubahan tekanan udara,
perubahan suhu udara, dingin, angin, dan kelembapan udara dihubungkan dengan
percepetan dan terjadinya serangan asma.
5)
Kegiatan Jasmani, kegiatan jasmani berat
misalnya berlari atau naik sepeda dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa
dan menangis yang berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru
dibawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6)
Infeksi saluran pernafasan, infeksi
virus pada sinus, baik sinusitis akut maupun kronik dapat memudahkan terjadinya
asma pada anak (Rachelesfky dkk,1978). Rhinitis alergika dapat memberatkan asma
melalui mekanisme iritasi atau reflek.
7)
Faktor Psikis. Merupakan pencetus yang
tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks, tidak adanya perhatian dan/ tidak
mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak sediri atau
kekurangan akan menggagalkan usaha pencegahan. Sebaliknya terlalu takut
terhadap adanya serangan maka kedepannya anak juga dapat memperberat serangan
asma. (Ngastiyah, 2005:85)
Patofisilogi
Asma pada anak terjadi adanya
penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan
iritasi atau stimulan lain. Asma juga dapat terjadi faktor pencetus karena
latihan, kecemasan, dan udara dingin. Dengan adanya bahan iritasi atau alergen
otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul (Immunoglobulin
E atau Ig E) dengan adanya alergi. Ig E dimunculkan pada reseptor sel mast dan
akibat ikatan Ig E dan antigen menyebabkan pengeluaran histamine dan Zat
mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asma.
Ikatan
Ig E dan antigen menimbulkan 2 respon fase yang berbeda yaitu fase awal (segera
pelepasan histamin) inflasi sehingga menyebabkan peningkatan sekresi mucus dan peningkatan
kontraksi otot halus pernafasan dan fase yang ke dua yaitu fase lambat 6-8 jam
fase awal , pelepasan prostaglandin, leukotrin, platelet,tromboksan. Sehingga
mengakibatkan peingkatan kontraksi otot halus pernafasan.
Aktifitas
otot halus yang menyebabkan hipertropi yang berujung dengan obstruksi saluran
pernafasan. Selama serangan asmathik, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan
sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas bengkak, kemudian
meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan.
Anak
mengalami asma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada
jalan nafas. Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan
pertukaran gas. Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat
ventilasi dan saturasi O2, sehingga terjadi penurunan pO2
(hipoxia). Sehingga akan mengalami ganguan pertukaran gas, dan dari hypoxia
akan mengakibatkan pula ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan
oksigen yang akan menyebabkan pasien keterbatasan aktivitas. (Kartika Sari W.
2013:48)
Obstruksi
saluran pernafasan membuat kerja pernafasan semakin meningkat, namun hal ini
menyebabkan kesulitan untuk makan dan minum secara oral, yang akan terjadi
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan penurunan masukan oral dan
resiko kekurangan volume cairan karena hiperventilasi.
Gambaran
Klinis
2.1.5.1.
Batuk
Batuk kering, paroksimal, iriatif
dan non produktif kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental.
2.1.5.2.
tanda-tanda terkait pernafasan
1)
Sesak nafas
2)
Fase ekspirasi memanjang
3)
Mengi dapat terdengar
4)
Tulang zigomatik memerah dan telinga
merah
5)
Bibir warna merah gelap
6)
Dapat berkembang menjadi sianosis pada
dasar kuku dan / sianosis sirkumoral
7)
Gelisah
8)
Ketakutan
9)
Berkeringat semakin banyak sejalan
dengan berkembangnya serangan asma.
10) Anak
yang sudah besar dapat duduk tegak dengan bahu dibungukkan, tangan berada
diatas meja atau kursi, dan lengan menahan
11) Berbicara
dengan fase yang singkat, terpatah-patah dan terengah-engah.
2.1.5.3 Dada
1)
Hiperesonansi pada perkusi
2)
Bunyi nafas kasar dan keras
3)
Mengi diseluruh bidang paru
4)
Ekspirasi memanjang
5)
Ronki kasar
6)
Mengi pada saat inspirasi dan ekspirasi
: nada mengi
2.1.5.4 Pada episode berulang
1)
Dada barrel
2)
Bahu meninggi
3)
Penggunaan otot-otot pernafasan
aksesoris
4)
Tampilan wajah : tulang zigomatik
mendatar, lingkaran disekeliling mata, hidung mengecil, gigi atas menonjol.
(Donna L.Wong,dkk. 2009:963)
Status Asmatikus
Status asmatikus adalah serangan
asma akut, berat dan berkepanjang dimana distres pernafasan terus terjadi
meskipun telah dilakukan tindakan terapiutik yang hebat, terutama pemberian
simpatomimetik. (Donna L.Wong. 2008:475)
Tampak anak sesak sekali, sianotik,
nadi menjadi lebih cepat dengan batuk yang melelahkan dan terdengar mengi
melengking tanpa stetoskop dengan retraksi sternal, intercostal bawah dan atas.
Ditinjau dari perjalanan penyakit (Frekuensi Serangan) maka asma dapat dibagi
tiga :
2.1.6.2
Asma
Ringan dengan frekuensi serangan asma jarang (kurang dari 1x/bulan) dan
biasanya serangan tidak lama sehingga tidak menggangu aktivitas normal. Umumnya
asma yang ringan ini disebabkan oleh spasme bronkus, sehingga dapat
dikendalikan dengan bronkodilator. Biasanya asma ringan ini akan menghilang
menjelang pubertas.
2.1.6.3
Asma
Sedang dengan frekuensi serangan asma lebih sering, tiap 2-3x/minggu sehingga
aktivitas normal kadang-kadang terganggu. Pada asma sedang disamping spasme bronkus,
inflamasi juga berperan sehingga kadang-kadang membutuhkan steroid.
2.1.6.4
Asma Berat dengan serangan asma sering,
sehingga menggangu aktivitas normal dan kadang-kadang interval bebas gejala
hampir tidak ada. Pada asma berat ini faktor inflasi sangat berperan, karena
itu membutuhkan steroid disamping bronkodilator. Untunglah asma berat hanya
sebagian asma pada anak. Biasanya asma berat akan melanjut ke dewasa.(Donna
L.Wong,dkk. 2009:961,967)
Kompilikasi
2.1.7.1.
Status asmatikus adalah serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat tidak memberikan
respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan
pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2.1.7.2
Atelectasis
adalah pengurutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran
udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
2.1.7.3 Hipoksemia
adalah tubuh kekurangan oksigen.
2.1.7.4
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara
pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.
2.1.7.5
Emfisema adalah penyakit yang gejala
utama adalah penyemitan (Obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. (Cecily L.
Bets & Linda A. 2005:26)
Diagnosa Pembanding
Pada bayi dibawah umur 3 tahun, bronkitis
merupakan diagnosa pembanding. Pada bronkitis biasanya terdapat panas dan
pilek. Serangan asma pertama sulit dibedakan dari bronkitis dan diagnosis asma,
baru dapat ditegakan bila ternyata keluhan sesaknya berulang.
Pada anak yang lebih besar, bronkitis
akut merupakan diagnosis banding, sama seperti pada bronkiolitis, pada bronkitis
juga terdapat panas dan pilek. Serangan asma pertama juga sulit dibedakan dari
brongkitis
Benda asing dijalan nafas dapat
memberi gejala menyerupai asma. Dalam hal ini anamnesis terinci dapat memberi
asupan. Bila benda asing itu “radiopaque” maka dapat terlihat dari foto toraks.
Diluar
negri “cystic fibrosis” merupakan salah satu diagnosis banding asma yang perlu
difikirkan. Tetapi di Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis adanya penyakit
ini belum pernah dilaporkan (Karnen G.Baratawidjaja & Samsuridjal 2006:59,60).
Whezzing
bukanlah semata-mata disebabkan oleh asma, karena itu setiap penderita dengan
keluhan Whezzing, perlu dilakukan pemeriksaan fisis dan laboratorium yang
diteliti sebelum diagnosis asma ditegakkan, untuk itu diagnosis banding yang
perlu dipikirkan adalah asma kardial, bronkitis akut ataupun yang menahun,
bronkiektasis, keganasan, infeksi paru, penyakit granuloma, farmer’s lung
disease, alergi bahan inhalan industri, hernia diafragmatika atau esophagus,
tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum, sembab laring, tumor trakeo-bronkial,
tumor atau kiste laring, aneurisma aorta dan kecemasan. (Hood Alsegaff dan H.Abdul Mukty. 2005:283)
Evaluasi Diagnostik
2.1.9.1.
Pemeriksaan radiografik biasanya digunakan untuk mengesampingkan kemungkinan
adanya penyakit lain dan untuk mengevaluasi adanya penyakit lain yang
menyertai. Umumnya batuk kronis pada keadaan tanpa infeksi atau mengi yang
menyebar selama fase ekspirasi pernafasan sudah cukup untuk menetapkan
diagnosis.
2.1.9.2.
Uji fungsi paru merupakan metode diagnostic yang obyektif dan dapat diulang
untuk mengevaluasi keberadaan dan derajat penyakit paru, serta respon terhadap
terapi
2.1.9.3.
Laju aliran ekspirasi pernafasan puncak (Peak Expirtory Flow Rate , PEFR) yang
mengukur aliran udara maksimal yang dapat diekshalasi sekuatnya dalam 1 detik,
PEFR diukur dalam 1 menit menggunakan Peak
Expiratory Flow Meter (PEFM). 3 zona biasanya digunakan untuk membaca hasil
PEFR. Sistem zona disesuaikan dengan
lampu lalu lintas sehingga mudah digunakan dan diingat.
2.1.9.4.
Uji Kulit , berguna untuk mengidentifikasi alergen spesifik, dan hasil yang
diperoleh dengan teknik pungsi akan lebih baik daripada yang diambil dengan uji
intra kutan dengan gejala dan pengukuran sesuai antibodi Ig E.
2.1.9.5.
Uji Provatif, pajanan langsung membrane
mukosa dengan antigen yang dicurigai dalam peningkatan konsentrasi,
membantu identifikasi alergen yang terinhalasi.
2.1.9.6.
Uji Radioalergosorben (RAST) membantu mengidentifikasi antigen terhadap
berbagai makanan yang sering digunakan untuk menentukan terapi yang tepat. (Donna
L.Wong,dkk. 2009:963,964)
2.1.10.
Pemeriksaan Laboratorium
2.1.10.1.
Dahak
Dahak atau sputum mukoid berwarna
jernih, terdiri dari mukopolisakarida dan serabut glikoprotein, bila disebabkan
alergi murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang sangat
kental sering kali menyebabkan penyumbatan yang disebut airways plugging. Dahak purulent berwarna kuning atau kuning
kehijauan, umumnya berjumlah banyak, dengan konsistensi kenyal atau lunak,
berasal dari jaringan epitel yang mengalami kerusakan (nekrotik) bercampur
dengan sel-sel radang dan bakteri. Pada pemeriksaan miksroskopis, tampak
gambaran spiral Churschmann, badan creola dan Kristal Charcot-Leyden serta 90%
dahak mengandung sel eosinofil.
2.1.10.2.
Pemeriksaan Darah
Pada penderita yang mengalami
stress, dehidrasi, dan infeksi, leukosit dapat meningkat (15.000/mm3)
sedangkan eosinofil meningkat diatas harga normal (normal=250/mm3).
Pada asma tipe alergi, eosinofil dapat meningkat sampai 800-1000/mm3.
Kalau peningkatan eosinofil ini melebihi 1000/mm3, missal sampai
4000/mm3, ada kemungkinan peningkatan ini disebabkan infeksi. Bila eosinofil
tetap tinggi setelah diberi kortikosteroid, maka asma tipe ini disebut steroid resistant bronchial asthma.
2.1.10.3.
Pemeriksaan EKG
Didapatkan sinus takikardia, bila
peningkatan detak jantung diatas 120/menit, menunjukkan ada hipoksia dan
mungkin disertai dengan PaO2 sekitar 60-40 mmHg. Bila terjadi
serangan asma akut, tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambar strin
ventrikel kanan yang disertai perubahan aksis jantung ke kanan dan perubahan
ini dapat pulih asal. Juga didapatkan RBBB (Right Bundle Branch Block),
P-pulmonal. Aritmia terjadi bila penderita mendapat epinefrin atau bila ada
kenaikan katekolamin waktu terjadi serangan.(Hood
Alsegaff dan H.Abdul Mukty. 2005:284)
Penatalaksanaan
2.1.11.1.
Pengendalian Alergen.
Tujuan terapi non
farmakologik adalah pencegahan dan pengurangan pajanan anak terhadap alergen
dan iritan yang ada diudara. Alergen spesifik
diidentifikasi dengan uji kulit,
dan beberapa tindakan dilakukan untuk menghilangkan atau menghindari alergen
tersebut
2.1.11.2. Terapi obat.
Tujuan terapi farmakologik
adalah mencegah dan mengendalikan gejala asma, mengurangi frekuensi keparahan
eksaserbasi asma, dan menghilangkan obstruksi aliran udara. Pengobatan dibagi 2
kategori : pengobatan pengendalian jangka
panjang (obat pencegah) untuk mencapai dan mempertahankan pengendalian
inflamasi dan pengobatan asma segera
(penyelamatan medis) untuk mengatasi gejala dan ekserbasi (Donna
L.Wong,dkk. 2009:964).
1)
Inhaller.
Banyak pengobatan
asma diberikan melalui inhalasi dengan nebulizer atau disebut Inhaler dosis
terukur (metered-dose-inhaller, MDI). Bayi dan anak yang masih kecil yang
mengalami kesulitan menggunakan MDI atau inhaler lain dapat menggunakan nebuliser. Obat tersebut dicampur dengan
salin, kemudian dinebulisasi dengan udara yang terkompensasi. Anak-anak
diinstrusikan untuk bernafas normal dengan mulut terbuka agar rute langsung ke
trakea terbuka.
2)
Kortikosteroid
Merupakan
obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas yang
reversible dan mengendalikan gejala serta mengurangi hiperaktivitas bronkus
pada asma kronis, kortikosteroid dapat
diberikan secara parenteral, oral atau dengan aerosol. Obat-obatan ini harus
diberikan dengan dosis paling rendah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan
resiko efek merugikan yang signifikan, seperti osteoporosis, hipertensi,
sindrom cudhing, gangguan mekanisme imun, dan supresi adrenal hipotalamus
hipotalamik.
3)
Natrium Kromolin
Jenis
obat non steroid untuk asma. Obat ini menstabilkan membrane sel mast,
menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari eosinofil dan sel-sel
epithelial, dan menghambat penyempitan jalan nafas akut setelah pajanan akibat
latihan fisik, udara dingin yang kering dan sulfur dioksida.
2.1.11.3. Modifier Leukotrien
Leukotrien adalah mediator
inflamasi yang menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas jalan nafas. Modifier
leukotriene (seperti zafirlukast, zileuton, dan natrium montelukast) menyekat
efek inflamasi dan bronkospasme . Obat ini diberikan secara oral dan kombinasi
dengan asonis-β dan steroid untuk
memberikan pengendalian jangka panjang dan pencegahan gejala pada asma
persisten ringan.
2.1.11.4.
Latihan Fisik
Bronkospasme akibat latihan
fisik (exercisa induced bronchospasm EIB) adalah obstruksi jalan nafas akut
reversible , yang biasanya sembuh sendiri, terjadi selama atau setelah
aktivitas berat, mencapai puncak 5 sampai 10 menit setelah aktivitas berhenti,
dan biasanya berhenti 20 sampai 30 menit kemudian, pasien yang menderita EIB mengalami
batuk, sesak nafas, nyeri dada atau dada sesak, mengi dan masalah ketahanan
selama latihan fisik, namun untuk memastikan diagnosis ini diperlukan pengujian
latihan fisik di laboratorium.
2.1.11.5. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada mencakup
latihan bernafas dan latiahan fisik. Terapi ini membantu relaksasi fisik dan
mental, memperbaiki postur, memperkuat otot-otot pernafasan, dan membentuk pola
pernafasan yang lebih efisien. Untuk anak termotivasi, latihan bernafas dan
pengendalian nafas sangat bermanfaat dalam mencegah inflasi berlebihan dan
meningkatkan keefektifan batuk. (Donna L.Wong,dkk. 2009:964-966)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar